Image
  • Wednesday, 11 December 2024
Jaminan Sosial Kesehatan dalam RUU Kesehatan: Sentralisasi Tata Kelola Jaminan Sosial pada Aktor Tunggal

Jaminan Sosial Kesehatan dalam RUU Kesehatan: Sentralisasi Tata Kelola Jaminan Sosial pada Aktor Tunggal

The PRAKARSA – RUU Kesehatan telah memasuki tahap sosialisasi oleh Kementerian Kesehatan sebagai perwujudan upaya perbaikan akses layanan kesehatan untuk masyarakat. RUU ini akan menghapus 9 undang-undang terkait kesehatan dan perubahan pada beberapa pasal di 13 undang-undang termasuk UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Penyesuaian pada beberapa pasal pada dua UU tersebut memuat beberapa aspek perbaikan jaminan kesehatan termasuk jaminan sosial kesehatan bagi pekerja yang tidak didaftarkan oleh pemberi kerja, peningkatan batas waktu perawatan tak terhingga menyesuaikan kebutuhan medis pasien, dan tidak adanya kuota maksimum pasien BPJS yang ditangani di rumah sakit.

The PRAKARSA menyambut baik perubahan pada 2 UU Jaminan Kesehatan Nasional dalam RUU Kesehatan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memperbaiki situasi kesehatan masyarakat Indonesia. “Namun, jika dilihat secara mendalam terutama pada perubahan pasal-pasal di dua undang-undang mengenai jaminan sosial nasional (No 40 tahun 2004 tentang SJSN dan 24 tahun 2011 tentang BPJS), RUU ini berpotensi membuat pengelolaan jaminan sosial kesehatan nasional di Indonesia tersentralisasi di Kementerian Kesehatan”, kata Darmawan Prasetya, peneliti kebijakan sosial The PRAKARSA.

Darmawan menjelaskan bahwa sentralisasi ini bisa dilihat dari beberapa pasal perubahan. Pertama, pasal 425 ayat 11 tentang perubahan pada pasal 37 di UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur kewajiban BPJS untuk melaporkan hasil kinerja tahunan ke Presiden melalui Kementerian Kesehatan, diketahui DJSN. Situasi ini menyebabkan alur pengawasan kepada BPJS Kesehatan semakin panjang karena selama ini BPJS Kesehatan sudah diawasi oleh OJK, BPK, dan DJSN sebagai pengemban amanat pengawasan BPJS. Kedua, Peran Kemenkes juga semakin meluas jika kita melihat proses pemutusan kerjasama BPJS Kesehatan dengan rumah sakit  yang diatur RUU Kesehatan pada pasal 424 ayat 5 tentang perubahan pada pasal 23 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Akan timbul konflik kepentingan jika  rumah sakit dan BPJS Kesehatan sama-sama diawasi oleh Kemenkes.

Ketiga, keterlibatan Kemenkes dalam tata kelola BPJS Kesehatan melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional berpotensi mengganggu independensi BPJS Kesehatan dalam mengelola dana amanah. Dana ini dikumpulkan dari premi yang dibayarkan oleh setiap peserta. Keterlibatan Kemenkes dalam pengelolaan BPJS Kesehatan berpotensi mencampuradukkan pengelolaan dana amanah di BPJS Kesehatan dengan APBN dalam membiayai program jaminan kesehatan nasional yang selama ini sebetulnya sudah dipisahkan. Namun Darmawan juga mengingatkan bahwa dilain pihak, RUU ini perlu mendorong peningkatan transparansi dana amanah kepada masyarakat. Pasal 425 ayat 11 dalam RUU Kesehatan ini  mengatur tentang pelaporan secara publik atas dana amanah yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, tetapi BPJS Kesehatan hanya diminta menyampaikannya dalam bentuk ringkasan eksekutif. “Kami mengusulkan agar pelaporan dana amanah dilakukan secara lebih  utuh dan tidak hanya berupa ringkasan eksekutif sehingga lebih transparan bagi publik”, ujar Darmawan menutup pembicaraan.