Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Resmi Diganti: Kebijakan KRIS Membuka Sekat Sosial
Jakarta, The PRAKARSA – Pemerintah resmi mengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS menjadi Kesehatan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). KRIS akan mulai berlaku di semua rumah sakit selambatnya Juni 2025.
Kebijakan ini disambut baik organisasi masyarakat sipil, salah satunya Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan Publik The PRAKARSA. Pasalnya The PRAKARSA telah mendorong adanya kebijakan kelas standard dalam Jaminan Kesehatan Nasional sejak awal SJSN di sahkan. Kemudian, pada tahun 2020 gagasan ini disampaikan kembali dalam Webinar Konsultasi Publik Konsep Kebijakan Rawat Inap JKN yang diselenggarakan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Republik Indonesia, pada September 2020.
Setelah hampir lima tahun proses realisasi kelas standard JKN, Pemerintah Indonesia akhirnya telah mengesahkan kebijakan Kelas Rawat Inap Standard (KRIS) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mulai berlaku per 8 Mei 2024.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan melihat ada enam pokok persoalan yang diatasi dengan adanya kebijakan KRIS ini.
“KRIS dapat menghilangkan stigmatisasi kelas miskin dan kurang mampu peserta JKN-PBI, menghilangkan diskriminasi layanan kesehatan, menghilangkan ketimpangan ketersediaan fasilitas kesehatan (termasuk jumlah tempat tidur) antarkelas — “kelas kaya X kelas miskin”, pemerataan kualitas fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan, sebagai upaya mencapai universal health coverage (UHC) 100%, dan terakhir dapat memberikan “insentif” kepada pengembangan dunia bisnis.” ujar Maftuch
Enam pokok persoalan tersebut juga didasarkan pada hasil temuan penelitian PRAKARSA tahun 2017 mengenai Ekuitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin di Indonesia (JKN). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan JKN di RS/PUSKESMAS/Klinik menghadapi kendala seperti fasilitas yang kurang layak, kualitas layanan kurang baik, dan jenis layanan yang tidak lengkap. Selain itu, persoalan akses terhadap layanan seperti transportasi menuju layanan kesehatan semakin menyulitkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan.
PRAKARSA melihat pelaksanaan KRIS yang diatur dalam Peraturan Presiden tersebut merupakan langkah maju untuk mewujudkan akses jaminan kesehatan yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia.
PRAKARSA juga mengapresiasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang telah membuka ruang dialog dengan aktor non-pemerintah dalam proses penyiapan kebijakan dan implementasi Kelas Standar Rawat Inap ini.
“Pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan KRIS merupakan wujud konkrid kolaborasi multisektor dapat mendorong terwujudnya kebijakan yang berbasis bukti di Indonesia”, imbuh Maftuch.
Di sisi lain, PRAKARSA melihat kebijakan KRIS bukanlah akhir dari upaya meningkatkan keadilan JKN bagi masyarakat. Maftuch menekankan agar penerapan KRIS dengan kelas standard disetarakan dengan layanan kelas 2.
“Adanya penerapan KRIS dapat memunculkan dua dampak nyata, yakni: risiko kenaikan iuran dan risiko hilangnya peserta BPJS Kesehatan terutama yang sudah bergabung di kelas 1 sebelumnya”, tegas Maftuch.
Risiko kenaikan iuran perlu diperhatikan sebagai dampak yang penerapan kelas standard. Risiko kenaikan iuran akan berdampak pada kelompok rentan dan miskin yang sebagian besar berada di kelas 3. Sehingga, penetapan iuran kelas yang diputuskan untuk menjadi standard KRIS tidak boleh terlalu tinggi, seperti ke kelas 1, karena dapat memunculkan kenaikan yang signifikan pada iuran kelas 3, terutama peserta mandiri.
Meskipun begitu, penerapan kelas standard sesuai kelas 2 ini maksimal adalah 5 tahun, karena ada risiko penurunan kepesertaan, terutama para peserta JKN Kelas 1 yang telah membayar lebih tinggi. Standardisasi ke kelas 2 dapat membuat segmen kelas ini enggan melanjutkan kepesertaan BPJS Kesehatan dan standard yang diambil dalam KRIS harus dinaikkan.
Kemudian, menaikkan standard kelas setelah penerapan KRIS juga harus ditunjang dengan kemudahan akses layanan kesehatan seperti fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau dan ketersediaan transportasi penunjang.
Pemerintah juga perlu memberikan dukungan kepada organisasi masyarakat sipil yang menyelenggarakan layanan kesehatan. Upaya ini perlu dilakukan, karena penyedia layanan kesehatan, terutama yang bukan dikelola oleh pemerintah akan kesulitan dalam mewujudkan amanat peraturan tersebut. Hal ini perlu dilakukan sebelum adanya kewajiban penerapan sistem KRIS di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia per 30 Juni 2024.
Sumber: The PRAKARSA